Poker Pelangi Lounge – Mengapa Belum Ada Penerima Penghargaan Nobel yang Berasal dari Indonesia?

Dijawab di Quora Indonesia oleh Nurkholisoh Ibnu Aman.

Ini cerita tentang Dr. Abdus Salam, peraih Nobel Fisika asal Pakistan.

Pada umur 14 tahun, ia mencatat rekor karena mendapat nilai ujian masuk tertinggi sepanjang sejarah Punjab University. Pada umur 16 tahun, sebagai mahasiswa, Abdus Salam sudah mempublikasi paper di jurnal matematika. Ia menjadi lulusan terbaik (lagi-lagi dengan nilai tertinggi sepanjang sejarah) dengan gelar sarjana Matematika.

Karena kecerdasannya, Abdus Salam diberi beasiswa oleh pemerintah untuk belajar di University of Cambridge. Di sini, ia kembali berprestasi. Ia meraih gelar BA dengan predikat first-class honours untuk dua major sekaligus (Matematika dan Fisika) disusul gelar PhD bidang Fisika Teori.

Tahun 1951, Abdus Salam memutuskan pulang kampung untuk jadi dosen di Lahore (padahal dia punya kesempatan jadi peneliti di Princeton bersama Albert Einstein).

Nah, sampai di Lahore, ia terkejut. Ternyata fasilitas sebagai dosen tidak memadai. Ia bahkan sampai harus menumpang hidup (bersama sang istri) di rumah temannya. Gaji pun sangat minim.

Dr. Abdus Salam kemudian menghadap Menteri Pendidikan. Tapi apa lacur, sang Menteri hanya berkata,

“If it suits you, you may continue with your job; if not, you may go.”

Untuk menambah penghasilan, ia akhirnya bekerja sebagai pelatih tim sepakbola di kampus (lihat gambar di atas).

Dr. Abdus Salam sangat frustasi. Ia merasa waktunya terbuang sia-sia. Di Cambridge ia bisa produktif sebagai peneliti. Tapi kini membaca literatur saja tak sempat. Laboratorium di Pakistan kondisinya sangat memprihatinkan.

Mengapa Belum Ada
Mengapa Belum Ada Penerima Penghargaan Nobel yang Berasal dari Indonesia?

Untungnya hal ini tidak berlangsung lama. Tahun 1953, Abdus Salam mendapat kesempatan menjadi dosen di almamaternya, Cambridge. Disusul promosi menjadi full professor di Imperial College.

Di sini ia gembira bisa bebas mengembangkan ilmu fisika, khususnya nuklir. Ide-idenya yang brilian mengalir deras, didukung oleh tim yang kompeten. Etos kerjanya terkenal luar biasa. Tidak ada liburan atau bersantai-santai dalam kamus Abdus Salam.

Ia menerima penghargaan Atoms for Peace dan puncaknya adalah memenangkan Nobel Fisika 1979. Sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi kalau Abdus Salam tetap di Pakistan dan menjadi pelatih sepakbola!

Saya sering dengar kisah seperti Dr. Abdus Salam di Indonesia. Dosen-dosen muda yang sebenarnya potensial meneliti akhirnya mandek ketika kembali ke Tanah Air.

Mereka disibukkan oleh birokrasi (mengajar, jadi pejabat di kampus) atau mencari penghasilan tambahan (konsultan proyek, melayani wawancara media, bahkan masuk dunia politik). Kalaupun ada kesempatan meneliti, fasilitas tidak mendukung.

Seorang teman India yang jadi dosen di Inggris bercerita kalau waktu kerjanya terbagi menjadi: meneliti (80%), mengajar (10%), administrasi (10%). Jadi dia bisa fokus meneruskan risetnya hingga level tertinggi atau sampai dia pensiun.

Dalam bahasa ekonomi, kisah Dr. Abdus Salam menjadi pelatih sepakbola disebut sebagai “resource misallocation”. Penggunaan sumber daya yang tidak tepat.

Keahlian Abdus Salam adalah meneliti, khususnya fisika. Maka biarkan dia meneliti ilmu fisika. Beri ruang dan waktu agar dia menelurkan hasil terbaiknya. Kalau soal sepakbola, biar dilakukan oleh Mourinho atau Ferguson!

Sumber : Poker Pelangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *